Kisah Orang Cerdas Indonesia di Luar Negeri (Bagian i)
Dari Rekayasa Elektronik Hingga Obat Kanker
Annisa Mutia
Dunia mengenal Jepang sebagai raksasa Asia dan pusat kemajuan teknologi dunia. Kemajuan Jepang yang melesat tak lepas dari peran para penelitinya yang andal. Bukan perkara mudah menjadi peneliti di Negeri Matahari Terbit itu. Apalagi, menjadi peneliti yang karyanya diakui. Bisa dikatakan, peneliti di Jepang adalah orang-orang cerdas dan pekerja keras, bahkan bisa dibilang gila kerja. Namun, siapa sangka, di tengah kerasnya kompetisi penelitian di Jepang,ada seorang peneliti berkewarganegaraan Indonesia yang bersinar di sana, dengan keahlian yang sangat mumpuni dan kecerdasan melebihi rata-rata manusia kebanyakan. Dialah Ken Kawan Soetanto, peraih gelar profesor dan empat doktor sekaligus dari empat universitas berbeda di Jepang.
Keempat gelar doktor itu dia raih di bidang aplikasi rekayasa elektronikadari Tokyo Institute of Technology (1985), ilmu kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003). Ken menjadi orang pertama dari luar Jepang dalam 125 tahun ini yang menduduki jabatan setingkat kepala divisi di Universitas Waseda.
Ken memulai perjalanan keilmuannya pada usia 26 tahun ketika dia memutuskan pergi ke Jepang untuk menimba ilmu pada sarjana teknik dari
Universitas Pertanian dan Teknologi Tokyo. Ketertarikannya terhadap barang elektronik membawanya menjatuhkan pilihan kepada Jepang sebagai negara tujuan belajar.
"Saat itu saya pikir Jepang akan menjadi rising country in the next decade," ucap Ken saat ditemui Republika di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Sabtu (18/12).
Selama delapan tahun setelah lulus SMA, Ken menghabiskan waktunya untuk mempersiapkan diri menjadi seorang peneliti di Jepang. "Saya mulai dengan terlambat, Nelson Tansu sudah dapat doktor saat seusia saya, tapi saya benar-benar belajar dengan uang sendiri dan tidak punya orang tua sejak kecil," kisahnya.
Sesampainya di Jepang, ternyata menjadi peneliti sangat sulit. Aroma persaing-an sangat keras. Terlebih lagi, lantaran dia berasal dari Indonesia, negara bekas jajahan Jepang yang dianggap masih jauh tertinggal. Bagi orang-orang di Jepang saat itu, Ken tak akan mendapat peluang.
"Kompetisi di Jepang kejam sekali, tapi saya diam-diam saja belajar dan terus meneliti sampai akhirnya saya berhasil dan mengejutkan mereka," ungkapnya.
Ken banyak menghabiskan waktu untuk meneliti. Karenanya, waktu untuk bercengkerama dengan keluarga menjadi korbannya. "Namun, begitulah hidup, pasti ada yang dikorbankan. Ketika kita mendapatkan sesuatu, kita juga kehilangan sesuatu yang lain," ujarnya bijak menyikapi perjalanan hidupnya.
Para peneliti di Jepang memang bekerja keras untuk menciptakan lingkungan yang bersuasana riset. Di-tambah pula, fasilitas riset yang mendukung. Kini, Ken diakui sebagai peneliti terkemuka di Jepang, baik oleh kalangan akademisi maupun Pemerintah Jepang.
Ken telah menghasilkan 29 paten di Jepang dan dua paten di Amerika Serikat dari pengembangan interdisipliner ilmu elektronika, kedokteran, dan farmasi. Paten mu-takhirnya yang diakui Jepang adalah The Nano-Micro Bubble Contrast Agent, yaitu tentang obat cerdas yang mampu menelusuri sistem jaringan pembuluh darah untuk mencari sel-sel kanker dan melumpuhkannya.
Pemerintah Jepang melalui The New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) memberi penghormatan kepada Ken pada penelitian puncak di Jepang dalam rentang 20 tahun (1987-2007).
Meski telah banyak mendulang kesuksesan, Ken tidak berpuas diri. Orang hebat danberpengaruh, katanya, haruslah menginspirasi orang lain untuk maju. Itulah yang dilakukannya saat ini.
Selain mendidik mahasiswanya di Waseda, Ken juga menjadi motivator dan konsultan. "Banyak sekali orang pintar, tapi tidak berhasil. Itu lantaran mereka hanya menggunakan ilmunya untuk diri sendiri, tidak memberi dan menginspirasi orang lain," imbuh Ken.
"Di matanya, seorang pendidik atau guru harus betul-betul mempunyai motivasi yang kuat. Karena, mengajar saja tidak cukup, tapi juga mesti mendidik. Seorang guru, sambung Ken, harus mencari tahu ketertarikan dan kebutuhan siswanya.
Guru harus memiliki kepandaian membuka hati siswa untuk membuat mereka termotivasi belajar. Namun, orang-orang kini lebih percaya Google daripada seorang guru. "Guru harus bisa membangun dirinya untukdihargai. Sebelum dihargai, guru harus dipercaya dulu. Karena kalau seorang guru tidak mempunyai sesuatu untuk membantu muridnya termotivasi belajar, bagaimana murid menghargai guru," tutur Ken.
Di Indonesia, menurut Ken, terdapat banyak anak-anak cerdas istimewa seperti dirinya. Dia memandang, tak masalah jika mereka menimba ilmu di luar negeri. "Karena mereka akan berkembang, tapi mereka harus ingat untuk memberi kepada orang lain," pesan dia.
Ken berkeinginan untuk dapat terus mengharumkan nama Indonesia melalui karya-karya penelitiannya. Meski raganya tidak di Indonesia, dia tetap ingin menjadi konsultan untuk membantu memecahkan permasalah pendidikan di Indonesia. "Saya dibutuhkan di Jepang. Mereka di Jepang menangis kalau saya pulang ke Indonesia. "